Rabu, 21 November 2007

Seni Tidak Hanya Berfungsi Untuk Tujuan Yang Luhur 2

JIL: Lalu perlukah ekspresi seni itu dianggap kebablasan dan tidak kebablasan oleh agama atau norma tertentu?

Kebablasan dan tidak kebablasan itu selalu menurut pandangan tertentu. Menurut persepsi ini kebablasan, tapi menurut persepsi itu belum tentu kebablasan. Jadi itu sangat terkait dengan perbedaan pemaknaan dari orang ke orang, individu per individu, kelompok per kelompok. Artinya tidak hitam-putih; tidak tajam.

Misalnya soal hukum membuat patung tiga dimensi di dalam Islam. Ayatnya memang melarang. Dan yang menarik justru adanya ayat itu. Tapi dalam praktek, ayat itu tidak selalu bisa berjalan. Seorang kyai yang teman saya di Lombok pernah mengatakan begini: ”Kyai sekarang, kalau pergi kemana-mana, misalnya ke luar kota, saat pulang kadang tetap saja membawa boneka sebagai oleh-oleh untuk anak atau cucunya. Padahal, boneka itu kan bagian dari patung tiga dimensi?!”

Itu artinya, bagaimana mendefinisikan larangan seni tiga dimensi yang berbentuk patung berwujud manusia itu? Kadang, sadar atau tidak, kita melakukan itu juga. Tapi yang perlu juga dipahami, di sini yang dilarang bukan wujud patungnya itu sendiri, bukan pula masalah tiga dimensinya. Tapi bagaimana kita menyikapi itu. Yang dilarang adalah ketika patung ini jadi sesembahan. Intinya, menurut saya yang diharamkan agama itu adalah agar kita tidak menduakan Tuhan.

JIL: Tapi dalam sejarah seni dan kebudayaan Islam, larangan pembuatan patung tiga dimensi itu memang telah membuat seni patung tidak berkembang di dunia Islam. Namun kemudian tetap muncul substitusinya dalam bentuk arsitektur, arabes, seni menulis indah atau kaligrafi, dan lain-lain. Jadi sebetulnya, ekspresi seni itu memang tidak terbatas, ya?

Itu betul. Ketika ada kekangan seperti air yang dibendung, dia akan mengalir ke aliran lainnya yang memungkinkan. Umpamanya, larangan seni patung diganti dengan seni kaligrafi. Dan kita tahu, paling tidak, ada tiga jenis kaligrafi yang paling menonjol di dunia ini: kaligrafi Islam, Cina, dan Jepang. Tapi di Islam, memang yang paling menonjol seni berbentuk geometris; hiasan-hiasan ruwet yang umumnya tidak menghasilkan bentuk makhluk hidup.

Tapi, kalau kita melihat kaligrafi-kaligrafi Islam, tetap saja ada yang berbentuk binatang dan tumbuh-tumbuhan. Kaligrafi-kaligrafi Islam dari Turki dan Persia misalnya, banyak sekali yang berbentuk manusia, tumbuhan, binatang, dan lain sebagainya. Bahkan sebelum ada tulisan seperti sekarang, orang telah menggunakan simbol-simbol makhluk hidup sebagai tulisan, seperti tulisan Mesir kuno, hieroglif.

JIL: Kadang kita mengidentikkan lagu-lagu dan musik Arab sebagai lagu dan musik islami, padahal isinya tak jauh beda dengan lagu-lagu kita kebanyakan. Perlukah musik misalnya diasosiasikan dengan agama tertentu?

Kalau kita mengerti bahasanya, dalam lagu-lagu Arab kadang kita memang menemukan lirik-lirik cinta. Tapi di sini itu justru disanjung-sanjung, dipuja-puja, seolah-olah menjadi iconkok yang beginian dianggap relegius, padahal isinya tidak relegius?! musik agama. Soalnya saya kira, memang antara teks dan nuansa bunyi itu berbeda. Sehingga ketika seseorang menyanyikan sesuatu, apalagi kalau ia tidak tahu bahasanya, ia bisa menginterpretasikannya dengan caranya sendiri. Nah, yang ironis adalah ketika ada orang yang paham isinya;

Ini sangat menarik dan fenomena ini sangat umum di kita. Memang, masyarakatlah yang membuat nada-nada gurun pasir itu religius dan terus diasosiasikan dengan relegiusitas Islam. Apapun yang datang dari Timur Tengah dianggap relegius. Mungkin contoh yang baik untuk soal ini adalah fenomena musik gambus. Dari penelusuran sejarah, musik gambus itu mungkin termasuk musik tertua yang pernah ada. Gambar alat-alatnya yang saya punya menunjukkan kalau ia sudah ada sejak abad ke-9 sebelum masehi, tepatnya dari zaman Mesir kuno.

Setelah lahirnya Islam, alat-alat musik itu diadopsi atau diambil. Musik gambusnya kemudian dibawa dan diperkenalkan ke tanah Arab, lalu diolah isinya dengan muatan nilai-nilai Islam. Kemudian, itu disebarkan lagi ke tanah Persia dan ke seluruh dunia. Ia diadopsi ke mana-mana dari bentuk yang asalnya. Itu menunjukkan, kebudayaan itu berkembang dan kadang lari-lari. Pada satu sisi, kesenian itu ada yang spesifik atau khas wilayah, daerah, dan kelompok tertentu, tapi di sisi lain ia juga sangat terbuka. Artinya, dalam berkesenian, sebetulnya kita selalu mengadopsi dan menerima unsur-unsur keindahan dari mana saja.

Katakanlah salah satu budaya yang cukup solid di Indonesia adalah budaya Jawa. Di Jawa, kita punya wayang. Kalau bicara soal wayang, asosiasi kita langsung akan tertuju ke Jawa. Padahal, kalau kita cermati betul, ceritanya berasal dari India, dan kadang juga mengadopsi cerita Amir Hamzah yang datang dari Timur Tengah. Jadi, kebudayaan itu tidak bisa didasarkan atas pemetaan yang hitam-putih. Ia selalu bersifat campuran dan mengalami perubahan-perubahan. Seni dan budaya itu pada dasarnya selalu mengalami proses akulturasi.

JIL: Apakah seni harus selalu mengabdi untuk kepentingan-kepentingan yang dianggap luhur seperti agama?

Antara ”ya” dan ”tidak”. Kita perlu realistis juga dalam memandang kehidupan ini. Yang namanya kesenian itu terkadang memang diperuntukkan bagi kepuasan rohani. Tapi itu bukan satu-satunya tujuan seni. Bisa saja seni diperuntukkan sebagai alat mencari uang. Kesenian juga menjadi alat ekspresi estetika, ekspresi sosial politik, dan lain sebagainya. Banyak sekali tujuan masing-masing orang dalam berkesenian. Kesenian juga bisa jadi sarana berekspresi untuk mewujudkan keharmonisan antara diri kita dengan masyarakat. Misalnya seni berbentuk pesta sawah ketika panen madu, panen tebu, gula, dan lain sebagainya.

Karena itu setiap orang punya pemaknaan sendiri tentang agama dan hubungannya dengan kesenian. Agama kan bukan hanya berbentuk salat atau ibadah tertentu saja. Agama juga perlu diperlukan guna membantu orang; tak pandang dari kalangan mana. Artinya, kita tidak bisa mengklaim bahwa sesuatu (seperti kesenian) hanya untuk sesuatu (kepentingan agama). Sesuatu, selalu untuk banyak hal; dan banyak hal untuk sesuatu. Jadi antara sesuatu dengan tujuannya, menurut saya selalu berinteraksi.

JIL: Kalau kita mendengar tembang-tembang Gambus dan pementasan wayag suket Slamet Gundono, kita tahu bahwa ekspresi seninya dipengaruhi oleh lingkungan santri tempat ia berasal dan tumbuh. Tapi kita tidak merasakan apa yang ia suguhkan hanya untuk Islam saja, ya...

Ya. Kita bisa melihat sosok Slamet Gundono sebagai orang Islam jebolan pesantren, sekaligus seorang seniman yang hebat. Bagi dia, saya kira tidak ada batasan yang jelas antara keduanya. Dirinya itu satu; Slamet Gundono, ya Slamet Gundono. Ketika dia main musik, yang keluar adalah nuansa pesantren dan gaya Jawa pesisirannya. Semuanya terhimpun di dalam dirinya. Ekspresinya kompleks, karena diri manusia itu memang sangat kompleks. Ketika dia manggung, nilai ekonominya dapat, nilai hiburannya ada, nilai ekpresinya juga tertuang. Semua ada di situ.

Itu yang menarik dari Slamet Gundono. Dia pandai main musik, belajar kebudayaan Jawa, dan datang dari kalangan pesantren. Dia juga dalang. Artinya, dia telah belajar pakem-pakem dari dua dunia sekaligus, baik itu pakem pesantren maupun pakem kesenian. Menurut saya, pemahaman tentang pakem itulah yang lengkap diketahui Slamet. Pada dirinya, tidak ada pakem yang mengungkung seluruhnya, sehingga dengan pakem, dia tetap punya kebebasan.

Saya kira, orang hidup memang selalu berada di antara dua karang: ikut pakem, sekaligus ikut kebebasan. Persoalannya hanyalah seberapa batasan batasan antara pakem dan kebebasan berekspresi itu ada pada dirinya.

JIL: Apa komentar Anda soal seni perfilman kita yang saat ini cukup vulgar dalam menyampaikan pesan-pesan agama, seperti dalam sinetron-sinetron mistis itu?

Dunia kesenian, khususnya dunia film, juga tidak bisa lepas dari dunia pasar atau publiknya. Yang membentuknya seperti itu tidak hanya seniman, tapi juga kemauan dan selera publik. Andaikata publik kita tidak ada yang suka melihat hal seperti itu, akan mati itu film atau sinetron. Disinilah terlihat jelas bahwa kesenian itu juga punya fungsi ekonomi. Sehingga yang dibidik-bidik adalah selera banyak orang. Apakah seniman seperti itu merasa punya dilema?

Mungkin pada dirinya sudah ada pemilahan. Saya mengerjakan ini untuk uang, yang lain untuk ibadah, yang lain lagi untuk ekspresi seni murni. Jadi kalau orang melakukan sesuatu dengan corak tertentu pada suatu saat, ia tidak mesti akan begitu pada saat yang lain. Ini memang ironis dan dilematis. Publik kita kok begini?! Yang dibikin senimannya kok gitu-gitu aja?! Ini memang jadi keprihatinan banyak orang.

JIL: Anda punya usul tentang cara menjaga independensi antara dogma agama dan kehidupan seni?

Saya kira, teologi, dogma, dan seni budaya, telah punya cara pandang yang terpisah-pisah dan tidak perlu dicampur-aduk. Kita akan sulit melihat kesenian kalau hanya dari sisi teologisnya saja. Akan sulit juga ketika kita melihat budaya hanya dari sudut pandang dogma agama. Yang sulit memang jika rumusan ”kalau hanya” yang diterapkan. Tapi, dalam beberapa hal, kita juga terkadang menjadikan teologi, dogma, dan budaya, menyatu di dalam batin kita. Dan itu terkadang saling terkait. Ketika kita memandang sesuatu dengan satu sudut pandang saja, kita akhirnya tidak bisa terbebas.

Tapi memang yang repot adalah kalau kita ekstrem; memandang sesuatu hanya dari satu sudut pandang saja. Itu yang nggak nyambung. Cara pandang agama terhadap seni itu terkadang sama dengan cara pandang kita terhadap budaya. Kita tidak bisa melihatnya hanya dari sisi ekonomi saja. Sebab fungsi kebudayaan juga bermacam-macam.

Jadi yang penting adalah seberapa jauh kita tidak memandangnya hanya dari satu sudut saja. Kita juga tidak boleh mengharuskan memandang sesuatu hanya dari satu sudut pandang. Mengharuskan dan menjangankan, juga sesuatu yang akan menyulitkan, terutama kalau kita berpandangan absolut. Karena itu, baik anjuran maupun larangan, keduanya harus juga ada batasnya, dan tidak boleh berlaku secara mutlak. Kuncinya: antara satu dan lain sudut pandang, ada keterkaitan. Bentuk keterkaitan itu bisa tebal dan bisa pula tipis.

Itulah yang dalam istilah saya disebut kompleksitas. Jadi seni itu harus dilihat dari sudut pandang yang kompleks. Sebab, masalah kehidupan sendiri sangat komplek. Kalau kita hanya memadangnya dari satu sisi, itu artinya kita menjadi orang yang simplistis atau menyederhanakan persoalan. Ini yang sering-sering bikin tidak nyambung.

Nah, kalau kita kaitkan antara norma agama dan kesenian dengan sudut pandang kompleksitas, saya kira hasilnya adalah mencari keseimbangan yang merupakan salah satu prinsip kehidupan. Nah, dalam banyak ajaran tentang kearifan hidup, kita memang telah dianjurkan untuk hidup seimbang. Jangan hanya mengikut satu arahan saja. Nah, mencari titik keseimbangan itulah yang cukup kompleks. Artinya, selalu ada kaitan antara satu hal dengan hal lainnya di mana kita berada.

Misalnya, bagaimana mengusahakan produk seni agar menjadi uang. Kesenian dan seorang seniman itu kan juga harus hidup. Seniman juga manusia. Karena itu, kesenian harus juga menghasilkan uang, terutama bagi yang profesional. Tapi apakah benar kesenian hanya untuk uang semata? Saya kira bukan. Kesenian juga untuk kepuasan diri, dan segala macam keperluan lainnya.

Jadi kalau pun kesenian punya fungsi ekonomi, fungsi kesenian tetap bukan hanya untuk ekonomi. Kesenian juga tidak semata untuk kepuasan ekspresif. Saya pernah membuktikan ketidakbenaran anggapan itu. Saat itu, saya bicara dengan seorang pelukis terkenal: ”Anda sudah puas mengekspresikan bakat estetis Anda dengan karya Anda ini. Kalau begitu, kasikan saya saja!” Tentu dia ogah dan justru akan menjualnya dengan harga yang mahal. Jadi, saya kira kuncinya adalah keseimbangan. Sama halnya dengan perlunya otak kanan dan otak kiri.

JIL: Bagaimana penerapan teori keseimbangan itu dalam menilai produk seni seperti jaipongan yang mungkin dianggap nista oleh agama?

Bagaimana dengan jaipongan yang aurat penarinya tertutup, tapi gerakannya menimbulkan gairah seksual? Menurut banyak orang, gairah seksual itu adalah indah. Kalau kita jujur, saya akan bilang, iya juga. Malah banyak sekali orang-orang yang gairahnya sudah tidak keluar, lalu terpaksa mencari obat. Dilihat dari sisi itu, ia bisa menjadi suatu anugrah.

Tapi saya kira, bukan itu intinya. Istilah porno atau seronok itu tidak hanya terkait dengan apa yang tampak, seperti nuansa ataupun kedipan mata yang menggairahkan. Sehingga untuk mengukur sesuatu itu nista, kita tidak boleh hanya melihatnya dari sisi agama saja. Saya ingat, seorang kyai dari Tegal pernah bilang kalau dia sangat bergairah melihat qariah yang melantunkan ayat suci Alqur’an, meski auratnya sangat tertutup. Tapi itu dia katakan untuk menjelaskan bahwa yang penting disucikan itu bukan objeknya, tapi yang paling utama adalah mata kita, hati kita, dan kepala kita. Dengan begitu, merangsang atau tidaknya sesuatu itu sangat tergantung pada iman kita.

JIL: Dengan teori kompleksitas, mandeknya dunia seni tentu tidak bisa hanya dikaitkan dengan salah satu sebab, misalnya kurang kreatifnya para seniman...

Ya. Mungkin saja karena masyarakat penikmat seninya yang tidak kondusif, nggak mendorong. Mungkin ekstremnya juga karena banyak yang melarang-larang. Itu yang menarik kalau kita melihat perkembangan seni di Iran. Saya dulu banyak melihat film-film Iran sebelum berkuasanya para ayatullah pasca Revolusi Iran tahun 1979. ekspresinya luar biasa, misalnya dalam ungkapan romantis. Orang yang merayu satu sama lain digambarkan bagai lukisan yang begitu komleks, sehingga padat sekali. Ekspresinya berbeda dengan film-film Barat. Tapi kemudian, terjadi perubahan politik di sana yang agak total, sehingga berimbas juga pada dunia kesenian.

JIL: Apakah budaya pop yang begitu massif saat ini berpotensi menggerus ekspresi seni lokal?

Saya kira, di Barat pun kini telah banyak orang yang tidak suka budaya popular. Di Amerika atau di mana-mana, banyak orang yang lebih suka kesenian klasik dan budaya lama. Pop-pop zaman sekarang tidak digandrungi lagi. Jadi pop itu juga tidak identik Barat, walaupun asal dan pengaruh budaya pop Barat kini sangat kuat di dunia. Mungkin itu juga terkait dengan perkembangan teknologi informasi dan multimedia. Di masa lalu, saya kira tidak akan lahir kesenian yang sangat popular seperti sekarang. Tapi karena ada berbagai macam media, semua itu kini dimungkinkan.

Tidak ada komentar: